Senin, 09 Juli 2012

PERANAN GURU PAI DALAM MENINGKATKAN PENDIDIKAN AGAMA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan suatu usaha yang dilaksanakan secara sadar oleh setiap bangsa dalam mencapai cita-cita dalam pandangan hidup dan bangsa. Pendidikan senantiasa berbeda dari suatu sekolah ke sekolah lainnya, tetapi tujuan yang ditempuh ialah mewujudkan pandangan hidup yang dianut oleh bangsa itu sendiri.
Pelaksanaan pendidikan Agama Islam pada sekolah dan Madrasah yang tercapai tujuan, dapat menimbulkan berbagai macam masalah, antara lain lahirnya anak-anak didik yang tidak beretika mulia terhadap lingkungan kehidupan.
Hasil pendidikan Agama Islam yang bermutu akam membuat siswa berakhlak baik dan membekali ilmu agama yang lengkap dan sempurna dalam masalah pokok Aqidah Islam dan Muamalah.
Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam yang diberikan di SMA harus sesuai dengan program pelajaran yang ditetapkan oleh lembaga pendidikan tersebut. Karena garis besar program pembelajaran merupakan sumber bagi tenaga pendidik dalam memberi materi pelajaran.
Peran guru Pendidikan Agama Islam di SMA merupakan pondasi yang dapat melahirkan manusia indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa.
Hasil pendidikan yang bermutu adalah siswa sehat, mandiri, berbudaya, berakhlak mulia, berpengetahuan dan menguasai teknologi serta cinta tanah air. Hakikat belajar adalah aktivitas perubahan tingkah laku pembelajaran. “Perubahan tingkah laku tercapai melalui kerja keras dan usaha cerdas dari siapapun mereka yang terlibat dalam proses pembelajaran itu sendiri. Dalam memberikan prioritas pendidikan agama Islam kepada siswa memperhatikan pada faktor-faktor keberhasilan dalam penyampaian materi pelajaran, untuk dapat membekali ilmu agama yang lengkap dan sempurna dalam materi pokok aqidah, ibadah dan muamalah.
Lembaga pendidikan di sekolah menengah atas khususnya pada SMA 1 CND Langsa merupakan lembaga pendidikan yang mempunyai pelajaran Pendidikan Agama Islam disamping pelajaran-pelajaran lainnya. Sekolah ini memiliki bimbingan khusus dalam mengatasi kenakalan siswa dan mendidik siswa untuk lebih kreatif. Siswa yang kreatif dan berpendidikan harus berlandaskan pada agama sehingga tidak ada prilaku, moral dan norma-norma yang menyimpang sesuai dengan tuntutan agama, bangsa dan negara.
Pendidikan adalah suatu proses pewarisan kebudayaan oleh satu generasi ke generasi berikutnya yang dilakukan suatu bangsa sepanjang masa. Melalui warisan kebudayaan, suatu bangsa akan mengalami bermacam-macam perubahan baik dari segi ilmu pengetahuan, sikap maupun ketrampilan yang dapat ditandai pada pola ke pribadian sesuai dengan tuntutan nilai-nilai yang terkandung di dalam pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Pendidikan dapat menimbulkan pengaruh serta perubahan pada diri pribadi masyarakat ataupun lingkungan. Suatu perubahan bukanlah terjadi hanya secara kebetulan melainkan akibat dari adanya suatu sebab musabab yang bermacam-macam untuk suatu perubahan mencapau tingkat kemajuan.
Untuk meningkatkan perubahan dalam bidang Pendidikan Agama Islam adalah perlu adanya tenaga ahli yaitu guru mata pelajaran Pendidikan Agama Islam untuk mengajar dan pemahaman nilai-nilai agama kepada anak didiknya melalui proses belajar dan mengajar yang dilaksanakan di sekolah terutama di mulai dimulai sejak masih kecil.
Melalui Pendidikan Agama Islam dapat dilakukan oleh guru-guru terutama adalah guru Pendidikan Agama Islam. Untuk berhasilnya peningkatan Pendidikan Agama di sekolah secara baik perlu adanya peranan guru Pendidikan Agama Islam dalam berbagai program pendidikan agam yang dilaksanakan disekolah.
Untuk lancarnya guru Pendidikan Agama menjalankan perannya di sekolah perlu adanya berbagai macam factor pendukung pelaksanaan program Pendidikan sekolah termasuk diantaranya dana, saran. Fasilitas serta tersedianya waktu yang efektif bagi guru Pendidikan Agama Islam dalam menjalankan berbagai macam program kegiatan yang diperlukan untuk meningkatkan Pendidikan Agama di SMA Swasta CND Langsa.
Dalam melaksanakan tugas di sekolah bahwa tidak selamanya guru Pendidikan Agama Islam dapat menjalankan perannya secara baik dan lancar hal ini mungkin disebabkan oleh adanya berbagai macam factor penghambat dalam menjalankan program kegiatan Pendidikan Agama Islam di SMA Swasta CND Langsa.
Faktor yang berada di luar diri individu/siswa yang merupakan segala sesuatu, baik kondisi maupun lingkungan sangat memberi pengaruh terhadap kesuksesan siswa dalam belajar. Adapun faktor tersebut antara lain : faktor non-sosial atau lingkungan alamiah dan juga faktor sosial yang terdiri dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan masyarakat.
a. Fakltor lingkungan sekolah
- Lingkungan pendidikan meliputi lingkungan sosial yang lebih luas dari lingkungan sosial dirumah atau di tempat tinggal. Siswa yang berasal dari berbagai lingkungan sosial berbeda atau dari tempat yang jauh berbeda sesamamanya.
- Dalam lingkungan ini kelompok pemuda yang berstatus siswa tersebut mengadakan interaksi sesamanya dan dengan para gurunya. Dari status tersebut bila mereka mempunyai kelebihan dari sekelompok pemuda yang lain.
b. Faktor lingkungan masyarakat
- Faktor ini sangat mempengaruhi siswa dalam belajar di sekolah. lingkungan masyarakat merupakan salah satu lingkungan sosial yang erat hubungannya dengan proses belajar mengajar disekolah. Jelasnya seperti yang dikemukakan oleh Surnadi Suryabrata bahawa :
“Faktor sosial seperti massa media kebudayaan, politik, sikap masyarakat dan sebagainya itu umumnya bersifat gangguan proses belajar, biasanya faktor tersebut dapat ditujukan kepada hal yang dipelajari atau aktivitas itu semata-mata dengan berbagai cara, faktor tersebut harus diatur supaya dapat berlangsung dengan sebaiknya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas, yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana peranan guru Pendidikan Agama Islam dalam meningkatkan Pendidikan Agama pada sekolah SMA Swasta CND Langsa.
C. Penjelasan Istilah
Untuk menghindari salah pengertian terhadap istilah yang terdapat dalam judul proposal ini, ada beberapa penjelasan tentang istilah sebagai berikut:
1. Peranan
Peranan adalah suatu pola tingkah laku yang merupakan ciri-ciri khas semua petugas dari suatu pekerjaan atau tugas tertentu. Adapun peranan yang penulis maksudkan adalah suatu usaha atau tindakan yang dilakukan guru dalam memberikan pertolongan atau pendidikan kepada anak didiknya agar mengalami suatu perubahan.
2. Guru Pendidikan Agama Islam
Dalam sebutan sehari-hari istilah guru Pendidikan Agama Islam disingkat menjadi Guru Agama. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia dimaksud dengan guru adalah orang yang pekerjaannya mengajar jadi kata Guru Agama adalah guru yang mengajar pelajaran Agama.Dari dua pengertian diatas, maka yang penulis maksudkan dengan guru Pendidikan Agama Islam disini adalah guru yang melaksanakan tugas profesi pendidikan dan pengajaran Agama Islam, membina kepribadian dan akhlak anak supaya mereka memahammi, menyakini, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam.
D. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi penelitian disini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui peranan yang dilakukan guru Pendidikan Agama Islam dalam meningkatkan Pendidikan Agama Islam di SMA Swasta CND Langsa.
2. Untuk mengetahui faktor pendukung guru Pendidikan Agama Islam dalam upaya peningkatan mutu Pendidikan Agama Islam pada SMA Swasta CND Langsa.
3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan apa sajakah yang dihadapi oleh Guru Pendidikan Agama Islam SMA Swasta CND Langsa dalam meningkatkan kualitas Pendidikan Agama Islam.
BAB II
PERANAN GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

A. Tugas Umum Guru Pendidikan Agama Islam
Pada hakikatnya tugas guru Agama Islam dengan guru Mata Pelajaran lainnya tidak terdapat perbedaan, hanya perbedaannya terletak pada bidang yang diajarkannya. Guru Agama Islam yang mengajarkan agama disamping mampu mengajarkan mata pelajaran umum yang berarti tugas guru agama lebih berat dan diperlukan syarat-syarat lebih berat pula.
Guru agama lebih banyhak fungsinya daripada guru bidang studi umum. Guru agama selaun mengetahui dan menguasai materi agama dan system atau pun metode yang mantap juga ia sendiri haruslah orang yang benar-benar muttaqin dan berakhlaqul qarimah dan menjadi uswatul hasanah. Mengenai tugas umum seseorang guru agama di sekolah dapat dikemukakan antara lain:

1. Guru Agama sebagai Pendidik
Sebagai pendidik guru agama tidak hanya mengajar agama saja, kalau seorang guru agama pengajar agama hanya sebagai pengajar berarti ia hanya berusaha supaya murid-murid memiliki pengetahuan agama. Sedangkan pendidik agama berusaha untuk membentuk siswa kepribadian anak didiknya menjadi manusia muslim yang bertakwa kepada Allah dan berakhlak mulia.

2. Guru Agama sebagai Pengajar
Adapun fungsi guru sebagai pengajar, tugasnya agak berbeda bila dibandingkan dengan tugas guru sebagai pendidik. Guru sebagai pengajar adalah berusaha hanya memberikan pengetahuan sebanyak-banyaknya kepada murid sehingga ia pandai dengan bermacam-macam ilmu pengetahuan dan lebih di titik beratkan pada inteleknya bukan pada perubahan tingkah laku.
Seorang guru agama hendaknya menjadi pengajar yang baik, pengajar yang baik adalah yang telah mempersiapkan pengajarannya sebelum ia melaksanakan tugasnya. Guru agama juga harus bersikap yang baik di depan kelas, cara menyampaikan pelajaran juga harus dapat dipahami murid-muridnya.
Dalam memilih dan mempergunakan metode mengajar harus sesuai dengan tujuan bahan dan situasi yang sedang dihadapi dan harus dapat pula mengorganisasikan bahan yang ada dalam kurikulum menjadi unit-unit atau satuan bahan yang merupakan satuan bahasa, setelah itu guru agama dapat menguasai bahan tersebut dan dapat menyampaikan dengan disertai contoh-contoh yang praktis, wajar dan dapat mempergunakan teknis evaluasi yang tepat sesuai dengan tujuan pengajaran yang akan dicapai dan materi pelajaran yang diberikan.
Tugas pengajaran disini hanya mengisi otak supaya cerdas dan materi-materi yang diajarkan. Sehubungan dengan hal ini Drs. K. Sukarji menyatakan bahwa syarat-syarat yang harus ada pada seorang guru agama adalah sebagai berikut:
a) Harus memiliki sifat-sifat mukmin dan muslim
b) Berkepribadian dewasa dan budi pekerti yang luhur sehingga dapat member suri tauladan kepada anak didiknya
c) Harus cinta kepada tugasnya sebagai guru agama
d) Mempunyai kasih sayang kepada anak didiknya seperti halnya anak sendiri atau keluarga sendiri
e) Menguasai bahan/materi pengetahuan agama sekalipun tidak mendalam
f) Memiliki ilmu keguruan dan mampu menerapkan metodologi pendidikan agama.
B. Jumlah Tugas Pokok / Beban Mengajar
Mengenai tugas pokok atau beban mengajar seorang guru agama biasanya dibicarakan dalam rapat guru menjelang permulaan pelaksanaan program baru (pada tahun ajaran atau menjelang CaturWulan baru).
Guru agama Sekolah Menengah Atas (SMA) melaksanakan guru system guru bidang studi sehingga pembagian tugas mengajar itu berarti penempatan guru kelas tertentu dengan jumlah yang sesuai. Jadi, yang pokok adalah jatah tugas tersebut terpenuhi dan tidak terbatas pada satu kelas dan ia mengajar sesuai dengan pendidikan formal yang telah ditempuhnya. Tugas seorang guru agama adalah ia harus diberi tugas mengajar agam, lain halnya apabila suatu sekolah dalam kekurangan guru maka pengaturan penguasaan ini kadang-kadang menyimpang seperti seorang guru agama merangkap mengajar Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).
Bertitik pangkal pada pembagian tugas guru karena guru merupakan salah satu komponen pendidikan yang memegang peranan penting dalam proses belajar-mengajar pada lembaga pendidikan tertentu. Tercapainya suatu tujuan pendidikan sebagaimana diharapkan selain ditunjang oleh fasilitas yang memadai juga sangat ditentukan persiapan para tenaga yang mengajar.
Karena keberhasilan suatu pendidikan sangat tergantung pada kesiapan para guru maka kehadiran seorang guru sangat ditentukan untuk memiliki kemampuan dengan kedisiplinan ilmu pengetahuan yang ditempuh dan kesiapan mental dalam menghadapi anak didiknya. Selain itu seorang guru juga diterapkan memiliki semangat mengajar yang tinggi, kreatif, manusiawi dan berwibawa. Dalam hal ini Prof. A. Darwis Soelaiman menyebutkan:
“Sekolah memerlukan guru yang memiliki kompetensi mengajar dan mendidik, yang innovator, kreatif, manusiawi yang cukup waktu untuk menekuni tugasnya, yang dapat menjaya wibawa di mata murid dan masyarakat dan sudah mampu meningkatkan mutu pendidikan nasional pancasila.

Dari kutipan diatas dapat dipahami bahwa setiap lembaga pendidikan sangat membutuhkan guru-guru yang memiliki kemampuan belajar, sikap mental, kreatif, disiplin dan berwibawa. Untuk mencapai kesempurnaan pemerintah dewasa ini telah berupaya untuk mengarahkan pendidikan agama yang berkualitas yaitu mempersiapkan tenaga pengajar yang andal sesuai dengan disiplin pengetahuan yang dimiliki.
C. Jati Diri Guru Pendidikan Agama Islam
Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan yang diarahkan kepada pembentukan manusia yang berkualitas dan beriman kepada Allah SWT, sosok manusia yang kita harapkan adalah manusia yang mampu mandiri atau bertanggungjawab sendiri, karena itu diharapkan kepada seorang guru untuk mengembangkan tingkat berfikir siswa secara kreatif.
Anak-anak mempunyai logika yang berbeda dengan orang dewasa, mereka memandang setiap pengetahuan yang diberikan oleh guru kepada mereka diterimanya sebagai tumpukan informasi yang tidak berarti bagi mereka, selama tidak ada hubungan dengan tujuan mereka dan persoalan yang memenuhi pikiran mereka, selama itu pula informasi tersebut tidak berarti bagi mereka artinya tidak tersusun secara psikologis.
Pada hakikatnya guru yang tingkat berfikirnya tinggi, punya kemampuan untuk berdiri didalam kelas dan mudah menghadapi maslah-masalah belajar-mengajar seperti manajemen kelas, disiplin, menghadapi sikap acuh tak acuh dari siswa dan mampu menentukan alternative pemecahan masalah. Ia dapat merancang berbagai bentuk belajar dan dapat memimpin siswa dari berfikir nyata ke berfikir yang konseptual.
Tipe guru semacam ini memiliki tingkat tanggung jawab dan komitmen yang tinggi. Ia benar-benar professional melalui peningkatan kemampuan yang terus menerus. Orang yang professional selalu mengembangkan dirinya terus menerus baik siswa maupun maupun teman sejawat bersama-sama diajak untuk menunaikan tugas dan kewajibannya menentukan berbagai alternative membuat program yang rasional dan mengembangkan serta melaksanakan rencana kegiatan yang tepat ia tidak hanya mampu mencetuskan ide-ide aktivitas maupun sarana penunjang tetapi juga terlihat secara aktif dalam melaksanakan suatu rencana sampai selesai.
Menurut Drs. Piet A. Sahertian menyebutkan bahwa ciri orang yang memiliki tingkat komite tinggi yaitu:
a. Tingkat keperdulian untuk siswa dan rekan sejawat tinggi
b. Selalu menyediakan waktu, tenaga yang cukup untuk membantu siswa.
c. Sangat baik terhadap orang lain.
D. Kecakapan dan Keterampilan Guru Agama Islam
Sebagai bekal yang akan menunjang mutu profesionalnya, maka seorang guru perlu memiliki kecakapan dan keterampilan dalam mengajar khususnya dan kemampuan dalam mendidik pada umumnya yang pada hakikatnya adalah memiliki kesanggupan dalam memimpin kelasnya. Kecakapan dan keterampilan dalam mengajar dan metodik khusus tentang mata pelajaran yang diajarkannya. Ia pun perlu memiliki kemampuan dalam diri menguasai teknik-teknik kepemimpinan terutama dalam memanajemen kelas.
Seorang guru dalam mencapaikan pengetahuan dan pandangan terhadap siswa untuk ini guru melaksanakan pengajaran harus mengerti bahan yang akan diajarkan, berarti dalam kegiatan mengajar harus terjadi suatu interaksi belajar mengajar, jika seorang pengajar terjadi suatu interaksi belajar mengajar, jika seorang pengajar tidak mengerti tentang proses belajar sudah tentu ia pun tidak sanggup mengusahakan terjadi proses tersebut. Berbicara tentang proses buka hanya membicarakan cara mengajar seorang guru di depan kelas, tetapi mengajar mempunyai gaya mengajar yang merupakan suatu kehobian seseorang. Namun perbedaan ini tidak terlalu besar karena hal ini sangat menentukan proses pengajarn oleh seorang guru.
Mengajar dengan sukses yaitu seorang guru sangat ditentukan oleh tiga factor yaitu:
a. Gaya pribadi si pelajar dan bentuk pengajaran yang digunakan
b. Mata pelajaran yang diajarkan
c. Keterampilan mengajar yang digunakan
E. Fasilitas Pendidikan Agama Islam
Selain guru agama fasilitas Pendidikan Agama juga perlu mendapat perhatian, karena hal ini akan menunjang kelancaran dan keberhasilan Pendidikan Agama baik di sekolah umum maupun di sekolah agama.
Adapun yang sangat diperlukan dalam proses belajar mengajar adalah buku, alat peraga, musalla dan lain-lain yang dapat menunjang dalam pelaksanaan pendidikannya di sekolah-sekolah.
Saran pendidikan adalah segala sesuatu yang digunakan dalam usahanya untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah dirumuskan. Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa pendidikan adalah suatu kegiatan komunikasi dimana terdapat pertukaran atau penyampaian pesan komunikasi kepada anak didik, pesan ini digunakan untuk mengembangkan anak didik, saran pendidikan di pandang perlu karena dapat membantu kea rah keberhasilannya kegiatan komunikasi pendidikan tersebut. Sebagai contoh alat tulis menulis dapat dipergunakan untuk mempermudah proses komunikasi yang berlangsung dalam kegiatan pendidikan.
Alat peraga pendidikan agama adalah musalla sangat penting artinya dalam proses belajar-mengajar, karena saran dan fasilitas ini sebagai alat penunjang dan menyukseskan pelaksanaan, pendidikan agama. Adapun suatu hal yang menjadi keinginan kita bersama apabila setiap sekolah mempunyai musalla yang lengkap dengan peralatannya.
Hal penting ini karena dengan saran itu para murid dapat langsung mempraktekkan ajaran agama seperti shalat yang telah diajarkan oleh guru juga dipergunakan kaset dalam rangka menunjang tercapainya tujuan pendidikan agama pada sekolah.
F. Kesejahteraan Guru Pendidikan Agama Islam
Dalam pengembangan dunia pendidikan di Indonesia pada akhir-akhir ini masalah tenaga kependidikan merupakan salah satu permasalahan pokok, dimana keberhasilan dalam meningkatkan mutu pendidikan disekolah-sekolah sangat tergantung kepada guru yang baik dan sejahtera, yang dapat mengabdikan dirinya untuk keberhasilan anak didiknya.
Guru baru dapat melakukan kewajiban dengan baik apabila diberikan kesempatan menyelesaikan kehidupannya dengan baik dan sejahtera dengan dilengkapi fasilitas-fasilitas tersebut. Adakalanya materi seperti rumah tempat tinggal, kendaraan berupa alat transportasi, keuangan dan lain-lain.
Keadaan yang diharapkan dalam kehidupan sehari-hari dirumah tangga dan masyarakat, pada hakikatnya dapat mempengaruhi proses pelaksanaan mengajar di sekolah dan hal ini sedikit banyaknya akan mempengaruhi mutu dan tingkat keberhasilan murid-muridnya dalam mengikuti pelajaran.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Bimbingan dan Penyuluhan, Jakarta: Gaya Tunggal, 1980

Departemen dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: 1995

Sukarji, K,. Ilmu Pendidikan dan Pengajaran Agama, Jakarta, Indra Jaya

Soelaiman, A. Darwis,. Analisa Pendidikan, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980

Saertian, A, Piet,. Supervisi Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta

Soetopo, Hendayat,. Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum, Jakarta: Bina aksara, 1986






















BAB III
METODE PENELITIAN

1. Pendekatan dan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif karena data hasil penelitian berbentuk uraian. Dalam hal pendidikan agama Islam dalam meningkatkan pendidikan agama islam pada anak dengan cara wawancara dengan guru agama, pendidikan awal untuk mengenal agama dan mengatasi anak yaitu dalam rumah tangga yang sangat berperan adalah orang tua, ibu bapak serta mencetak akhlak yang baik.

2. Sumber Data
Sumber dalam penelitian adalah guru Pendidikan Agama Islam SMA Swasta CND Langsa. Pendidikan agama Islam maupun terhadap pelajaran lainnya juga tidak terlepas pengontrolannya dalam mengawasi melalui guru dan orang tua dan keluarga yang dapat membantu siswa. Disamping itu pula, tidak terlepas dari berbagai bantuan dan unsur-unsur pendidikan itu sendiri seperti mengadakan bimbingan di sekolah. Untus pendidikan disini adalah guru sebagai fasilitator disekolah tentang proses belajar mengajar dan mengatasi siswa.

3. Teknik Pencarian Data
Dalam penelitian data yang dikumpulkan dengan observasi sekolah dan dengan guru Pendidikan Agama Islam. Dan menulis menggunakan Library Research yaitu meneliti buku-buku ilmiah untuk menghimpun pendapat para ahli yang akan dijadikan sebagai pola ukur dalam menggerakkan atau menjalankan peran pendidikan agama Islam dalam pembinaan mental siswa, serta bahan yang lainnya yang berkaitan dengan pembahasan ini adalah penelitian lapangan mengamati objek-objek penelitian wawancara.

4. Teknik Analisis Data
Setelah semua data dikumpulkan, diolah dianalisis serta dikumpulkan maka langkah selanjutnya adalah mengadakan wawancara dengan guru bertujuan untuk memperoleh informasi.

Senin, 02 Juli 2012

PACARAN ITU HARAM

1. Jangan berduaan dengan pacar di tempat sepi, kecuali ditemani mahram dari sang wanita (jadi bertiga) - “Janganlah seorang laki-laki berkholwat (berduaan) dengan seorang wanita kecuali bersama mahromnya…”[HR Bukhori: 3006,523, Muslim 1341, Lihat Mausu'ah Al Manahi Asy Syari'ah 2/102] - “Tidaklah seorang lelaki bersepi-sepian (berduaan) dengan seorang perempuan melainkan setan yang ketiganya“ (HSR.Tirmidzi) - 2. Jangan pergi dengan pacar lebih dari sehari semalam kecuali si wanita ditemani mahramnya - “Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk bepergian sehari semalam tidak bersama mahromnya.” [HR Bukhori: 1088, Muslim 1339] - 3. Jangan berjalan-jalan dengan pacar ke tempat yang jauh kecuali si wanita ditemani mahramnya - “…..jangan bepergian dengan wanita kecuali bersama mahromnya….”[HR Bukhori: 3006,523, Muslim 1341] - 4. Jangan bersentuhan dengan pacar, jangan berpelukan, jangan meraba, jangan mencium, bahkan berjabat tangan juga tidak boleh, apalagi yang lebih dari sekedar jabat tangan - “Seandainya kepala seseorang di tusuk dengan jarum dari besi itu lebih baik dari pada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (Hadits hasan riwayat Thobroni dalam Al-Mu’jam Kabir 20/174/386 dan Rauyani dalam Musnad: 1283, lihat Ash Shohihah 1/447/226) - Bersabda Rasulullahi Shallallahu ‘alaihi wassallam: “Sesungguhnya saya tidak berjabat tangan dengan wanita.” [HR Malik 2/982, Nasa'i 7/149, Tirmidzi 1597, Ibnu Majah 2874, ahmad 6/357, dll] - 5. Jangan memandang aurat pacar, masing-masing harus memakai pakaian yang menutupi auratnya - “Katakanlah kepada orang-orang beriman laki-laki hendaklah mereka menahan pandangannya dan menjaga kemaluannya..” (Al Qur’an Surat An Nur ayat 30) - “…zina kedua matanya adalah memandang….” (H.R. Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Nasa’i) - 6. Jangan membicarakan/melakukan hal-hal yang membuat terjerumus kedalam zina - “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang jelek” (Al Qur’an Surat Al Isra 32) - “Kedua tangan berzina dan zinanya adalah meraba, kedua kaki berzina dan zinanya adalah melangkah, dan mulut berzina dan zinanya adalah bicara.” (H.R. Muslim dan Abu Dawud) - 7. Jangan menunda-nunda menikah jika sudah saling merasa cocok - “Wahai para pemuda ! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya”. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Darimi, Ibnu Jarud dan Baihaqi). - “Yang paling banyak menjerumuskan manusia ke-dalam neraka adalah mulut dan kemaluan.” (H.R. Turmudzi dan dia berkata hadits ini shahih.) - WARNING: - sebenarnya banyak ulama dan ustadz yang mengharamkan pacaran, misalnya saja ustadz Muhammad Umar as Sewed. jadi sebaiknya segera menikahlah dan jangan berpacaran… - sebuah syair mengatakan: - kadang peristiwa besar bermula dari hal-hal kecil permulaannya memandang, lalu tersenyum, kemudian menyapa, lalu mengobrol, lantas janjian, kemudian berkencan, dan akhirnya berzina - Bagi yang sudah terlanjur berbuat dosa maka bertaubatlah dan jangan putus asa, Allah pasti mengampuni hambanya yang bertaubat dan memohon ampun… - - - ========================================================================== - - BANTAHAN ATAS ARTIKEL DIATAS - dari Prima, Desember 26th, 2008 jam 3:52 am - Komentar: Menyatakan adanya pacaran Islami sama dengan menyatakan adanya perjudian islami. Adakah perjudian Islami dalam Islam? - 1. Pacaran di tempat rame juga nggak boleh, apalagi di tempat sepi. Yang mesti dibahas dalam masalah pergaulan antar pria bukan hanya jumlah wanita dan laki2 yang berinteraksi, tapi juga konten pembicaraannya. Di masa Rasulullah dan sahabat, konten percakapan antara laki-laki dan perempuan hanya di seputar masalah2 berikut ini: ekonomi (contoh:perdagangan), politik (co’: muhasabah terhadap penguasa), kesehatan, pendidikan, dakwah, dan pernikahan (rumah tangga). Sedangkan di luar 6 masalah tersebut, Rasulullah dan para sahabat tidak melakukan interaksi antar gender. Karena itu, bercakap-cakap hanya sekadar hanya untuk menyatakan kata2 romantis atau bercanda ria(seperti dalam pacaran), baik dalam keadaan sepi atau ramai, tidak diperbolehkan. Untuk masalah ini, coba teliti kisah2 perjalanan hidup Rasul dan sahabat yang tercantum dalam hadits ataupun sirah. Kita tidak akan pernah menemukan Rasul maupun sahabat berinteraksi dengan lawan jenis di luar 6 perkara tadi. Sedangkan dalam pacaran, saya pribadi belum pernah menemukan pacaran yang konten pembicaraannya terbatas pada 6 perkara tadi. Selalu saja ada konten pembicaraan yang tidak diperbolehkan syara (minimal bercanda). - 2.Melakukan perjalanan kurang dari 1hari 1 malam dengan pacar juga tidak boleh. Wong pacarannya saja tidak boleh. Atau pergi dengan pacar lebih dari 1 hari 1 malam dengan ditemani mahram juga tidak boleh. Ini seperti halnya wanita bepergian bepergian lebih dari 1 ahari 1malam dengan ditemani mahram untuk keperluan berjudi. Ini tetap tidak boleh walaupun wanita tersebut ditemani mahram.Kebolehan bagi perempuan untuk bepergian lebih dari 1 hari 1 malam dengan ditemani mahram hanya diperuntukkan untuk hajat umum yang dimubahkan, yakni yang termasuk ke dalam 6 perkara tadi. KOnteks hadits yang dicantumkan pada point ke-2 memang seputar masalah2 mubah, bukan perkara2 haram seperti pacaran atau perjudian. Pemahaman yang benar terhadap hadits tersebut adalah, a)walaupun untuk keperluan mubah, wanita bepergian lebih dari 1 hari 1 malam tanpa mahram atau suami tetap tidak boleh;b)walaupun ditemani mahram atau suami, bepergian lebih dari 1 hari 1 malam untuk hal yang diharamkan tidak diperbolehkan;c)walaupun bepergian kurang dari 1 hari tanpa ditemani mahram atau suami, tetapi untuk urusan yang haram (seperti pacaran) tetap tidak boleh. - 3)Walaupun ditemani mahram, berpacaran ke tempat jauh tetap tidak boleh, dan ke tempat dekat pun tidak boleh. - 4)Pembahasan dalam masalah pergaulan islami, bukan hanya seputar persinggungan tubuh, tetapi juga seputar konten pembicaraan. Apabila konten pembicaraannya tidak syar’i walaupun tidak bersinggungan tubuh (berciuman atau bergandengan tangan), pergaulannya tetap haram. - 5)Dengan menutup aurat ataupun tidak, pacaran tetap haram. Ibaratnya, perjudian tetap haram walaupun pelakunya adalah wanita yang menutup aurat. - -==================================== HUKUM PACARAN MENURUT ISLAM (penjelasan mengenai sebab diharamkannya pacaran) Istilah pacaran itu sebenarnya bukan bahasa hukum, karena pengertian dan batasannya tidak sama buat setiap orang. Dan sangat mungkin berbeda dalam setiap budaya. Karena itu kami tidak akan menggunakan istilah `pacaran` dalam masalah ini, agar tidak salah konotasi. I. Tujuan Pacaran Ada beragam tujuan orang berpacaran. Ada yang sekedar iseng, atau mencari teman bicara, atau lebih jauh untuk tempat mencurahkan isi hati. Dan bahkan ada juga yang memang menjadikan masa pacaran sebagai masa perkenalan dan penjajakan dalam menempuh jenjang pernikahan. Namun tidak semua bentuk pacaran itu bertujuan kepada jenjang pernikahan. Banyak diantara pemuda dan pemudi yang lebih terdorong oleh rasa ketertarikan semata, sebab dari sisi kedewasaan, usia, kemampuan finansial dan persiapan lainnya dalam membentuk rumah tangga, mereka sangat belum siap. Secara lebih khusus, ada yang menganggap bahwa masa pacaran itu sebagai masa penjajakan, media perkenalan sisi yang lebih dalam serta mencari kecocokan antar keduanya. Semua itu dilakukan karena nantinya mereka akan membentuk rumah tangga. Dengan tujuan itu, sebagian norma di tengah masyarakat membolehkan pacaran. Paling tidak dengan cara membiarkan pasangan yang sedang pacaran itu melakukan aktifitasnya. Maka istilah apel malam minggu menjadi fenomena yang wajar dan dianggap sebagai bagian dari aktifitas yang normal. II. Apa Yang Dilakukan Saat Pacaran ? Lepas dari tujuan, secara umum pada saat berpacaran banyak terjadi hal-hal yang diluar dugaan. Bahkan beberapa penelitian menyebutkan bahwa aktifitas pacaran pelajar dan mahasiswa sekarang ini cenderung sampai kepada level yang sangat jauh. Bukan sekedar kencan, jalan-jalan dan berduaan, tetapi data menunjukkan bahwa ciuman, rabaan anggota tubuh dan bersetubuh secara langsung sudah merupakan hal yang biasa terjadi. Sehingga kita juga sering mendengar istilah “chek-in”, yang awalnya adalah istilah dalam dunia perhotelan untuk menginap. Namun tidak sedikit hotel yang pada hari ini berali berfungsi sebagai tempat untuk berzina pasangan pelajar dan mahasiswa, juga pasanga-pasangan tidak syah lainnya. Bahkan hal ini sudah menjadi bagian dari lahan pemasukan tersendiri buat beberapa hotel dengan memberi kesempatan chek-in secara short time, yaitu kamar yang disewakan secara jam-jaman untuk ruangan berzina bagi para pasangan di luar nikah. Pihak pengelola hotel sama sekali tidak mempedulikan apakah pasangan yang melakukan chek-in itu suami istri atau bulan, sebab hal itu dianggap sebagai hak asasi setiap orang. Selain di hotel, aktifitas percumbuan dan hubungan seksual di luar nikah juga sering dilakukan di dalam rumah sendiri, yaitu memanfaatkan kesibukan kedua orang tua. Maka para pelajar dan mahasiswa bisa lebih bebas melakukan hubungan seksual di luar nikah di dalam rumah mereka sendiri tanpa kecurigaan, pengawasan dan perhatian dari anggota keluarga lainnya. Data menunjukkan bahwa seks di luar nikah itu sudah dilakukan bukan hanya oleh pasangan mahasiswa dan orang dewasa, namun anak-anak pelajar menengah atas (SLTA) dan menengah pertama (SLTP) juga terbiasa melakukannya. Pola budaya yang permisif (serba boleh) telah menjadikan hubungan pacaran sebagai legalisasi kesempatan berzina. Dan terbukti dengan maraknya kasus `hamil di luar nikah` dan aborsi ilegal. Fakta dan data lebih jujur berbicara kepada kita ketimbang apologi. Maka jelaslah bahwa praktek pacaran pelajar dan mahasiswa sangat rentan dengan perilaku zina yang oleh sistem hukum di negeri ini sama sekali tidak dilarang. Sebab buat sistem hukum sekuluer warisan penjajah, zina adalah hak asasi yang harus dilindungi. Sepasang pelajar atau mahasiswa yang berzina, tidak bisa dituntut secara hukum. Bahkan bila seks bebas itu menghasilkan hukuman dari Allah berupa AIDS, para pelakunya justru akan diberi simpati. III. Pacaran Dalam Pandangan Islam a. Islam Mengakui Rasa Cinta Islam mengakui adanya rasa cinta yang ada dalam diri manusia. Ketika seseorang memiliki rasa cinta, maka hal itu adalah anugerah Yang Kuasa. Termasuk rasa cinta kepada wanita (lawan jenis) dan lain-lainnya. `Dijadikan indah pada manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik .`(QS. Ali Imran :14). Khusus kepada wanita, Islam menganjurkan untuk mewujudkan rasa cinta itu dengan perlakuan yang baik, bijaksana, jujur, ramah dan yang paling penting dari semua itu adalah penuh dengan tanggung-jawab. Sehingga bila seseorang mencintai wanita, maka menjadi kewajibannya untuk memperlakukannya dengan cara yang paling baik. Rasulullah SAW bersabda,`Orang yang paling baik diantara kamu adalah orang yang paling baik terhadap pasangannya (istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik terhadap istriku`. b. Cinta Kepada Lain Jenis Hanya Ada Dalam Wujud Ikatan Formal Namun dalam konsep Islam, cinta kepada lain jenis itu hanya dibenarkan manakala ikatan di antara mereka berdua sudah jelas. Sebelum adanya ikatan itu, maka pada hakikatnya bukan sebuah cinta, melainkan nafsu syahwat dan ketertarikan sesaat. Sebab cinta dalam pandangan Islam adalah sebuah tanggung jawab yang tidak mungkin sekedar diucapkan atau digoreskan di atas kertas surat cinta belaka. Atau janji muluk-muluk lewat SMS, chatting dan sejenisnya. Tapi cinta sejati haruslah berbentuk ikrar dan pernyataan tanggung-jawab yang disaksikan oleh orang banyak. Bahkan lebih `keren`nya, ucapan janji itu tidaklah ditujukan kepada pasangan, melainkan kepada ayah kandung wanita itu. Maka seorang laki-laki yang bertanggung-jawab akan berikrar dan melakukan ikatan untuk menjadikan wanita itu sebagai orang yang menjadi pendamping hidupnya, mencukupi seluruh kebutuhan hidupnya dan menjadi `pelindung` dan `pengayomnya`. Bahkan `mengambil alih` kepemimpinannya dari bahu sang ayah ke atas bahunya. Dengan ikatan itu, jadilah seorang laki-laki itu `laki-laki sejati`. Karena dia telah menjadi suami dari seorang wanita. Dan hanya ikatan inilah yang bisa memastikan apakah seorang laki-laki itu betul serorang gentlemen atau sekedar kelas laki-laki iseng tanpa nyali. Beraninya hanya menikmati sensasi seksual, tapi tidak siap menjadi “the real man”. Dalam Islam, hanya hubungan suami istri sajalah yang membolehkan terjadinya kontak-kontak yang mengarah kepada birahi. Baik itu sentuhan, pegangan, cium dan juga seks. Sedangkan di luar nikah, Islam tidak pernah membenarkan semua itu. Akhlaq ini sebenarnya bukan hanya monopoli agama Islam saja, tapi hampir semua agama mengharamkan perzinaan. Apalagi agama Kristen yang dulunya adalah agama Islam juga, namun karena terjadi penyimpangan besar sampai masalah sendi yang paling pokok, akhirnya tidak pernah terdengar kejelasan agama ini mengharamkan zina dan perbuatan yang menyerampet kesana. Sedangkan pemandangan yang kita lihat dimana ada orang Islam yang melakukan praktek pacaran dengan pegang-pegangan, ini menunjukkan bahwa umumnya manusia memang telah terlalu jauh dari agama. Karena praktek itu bukan hanya terjadi pada masyarakat Islam yang nota bene masih sangat kental dengan keaslian agamanya, tapi masyakat dunia ini memang benar-benar telah dilanda degradasi agama. Barat yang mayoritas nasrani justru merupakan sumber dari hedonisme dan permisifisme ini. Sehingga kalau pemandangan buruk itu terjadi juga pada sebagian pemuda-pemudi Islam, tentu kita tidak melihat dari satu sudut pandang saja. Tapi lihatlah bahwa kemerosotan moral ini juga terjadi pada agama lain, bahkan justru lebih parah. c. Pacaran Bukan Cinta Melihat kecenderungan aktifitas pasangan muda yang berpacaran, sesungguhnya sangat sulit untuk mengatakan bahwa pacaran itu adalah media untuk saling mencinta satu sama lain. Sebab sebuah cinta sejati tidak berbentuk sebuah perkenalan singkat, misalnya dengan bertemu di suatu kesempatan tertentu lalu saling bertelepon, tukar menukar SMS, chatting dan diteruskan dengan janji bertemu langsung. Semua bentuk aktifitas itu sebenarnya bukanlah aktifitas cinta, sebab yang terjadi adalah kencan dan bersenang-senang. Sama sekali tidak ada ikatan formal yang resmi dan diakui. Juga tidak ada ikatan tanggung-jawab antara mereka. Bahkan tidak ada kepastian tentang kesetiaan dan seterusnya. Padahal cinta itu adalah memiliki, tanggung-jawab, ikatan syah dan sebuah harga kesetiaan. Dalam format pacaran, semua instrumen itu tidak terdapat, sehingga jelas sekali bahwa pacaran itu sangat berbeda dengan cinta. d. Pacaran Bukanlah Penjajakan / Perkenalan Bahkan kalau pun pacaran itu dianggap sebagai sarana untuk saling melakukan penjajakan, atau perkenalan atau mencari titik temu antara kedua calon suami istri, bukanlah anggapan yang benar. Sebab penjajagan itu tidak adil dan kurang memberikan gambaran sesungguhnya atas data yang diperlukan dalam sebuah persiapan pernikahan. Dalam format mencari pasangan hidup, Islam telah memberikan panduan yang jelas tentang apa saja yang perlu diperhitungkan. Misalnya sabda Rasulullah SAW tentang 4 kriteria yang terkenal itu. Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW berdabda,`Wanita itu dinikahi karena 4 hal : [1] hartanya, [2] keturunannya, [3] kecantikannya dan [4] agamanya. Maka perhatikanlah agamanya kamu akan selamat. (HR. Bukhari Kitabun Nikah Bab Al-Akfa` fiddin nomor 4700, Muslim Kitabur-Radha` Bab Istihbabu Nikah zatid-diin nomor 2661) Selain keempat kriteria itu, Islam membenarkan bila ketika seorang memilih pasangan hidup untuk mengetahui hal-hal yang tersembunyi yang tidak mungkin diceritakan langsung oleh yang bersangkutan. Maka dalam masalah ini, peran orang tua atau pihak keluarga menjadi sangat penting. Inilah proses yang dikenal dalam Islam sebagai ta`aruf. Jauh lebih bermanfaat dan objektif ketimbang kencan berduaan. Sebab kecenderungan pasangan yang sedang kencan adalah menampilkan sisi-sisi terbaiknya saja. Terbukti dengan mereka mengenakan pakaian yang terbaik, bermake-up, berparfum dan mencari tempat-tempat yang indah dalam kencan. Padahal nantinya dalam berumah tangga tidak lagi demikian kondisinya. Istri tidak selalu dalam kondisi bermake-up, tidak setiap saat berbusana terbaik dan juga lebih sering bertemu dengan suaminya dalam keadaan tanpa parfum dan acak-acakan. Bahkan rumah yang mereka tempati itu bukanlah tempat-tempat indah mereka dulu kunjungi sebelumnya. Setelah menikah mereka akan menjalani hari-hari biasa yang kondisinya jauh dari suasana romantis saat pacaran. Maka kesan indah saat pacaran itu tidak akan ada terus menerus di dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dengan demikian, pacaran bukanlah sebuah penjajakan yang jujur, sebaliknya bisa dikatakan sebuah penyesatan dan pengelabuhan. Dan tidak heran bila kita dapati pasangan yang cukup lama berpacaran, namun segera mengurus perceraian belum lama setelah pernikahan terjadi. Padahal mereka pacaran bertahun-tahun dan membina rumah tangga dalam hitungan hari. Pacaran bukanlah perkenalan melainkan ajang kencan saja. www.eramuslim.com sesungguhnya pacaran adalah perbuatan haram Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi dan Rasul paling mulia. Amma ba’du. Berikut ini sepuluh nasihat Ibnul Qayyim rahimahullah untuk menggapai kesabaran diri agar tidak terjerumus dalam perbuatan maksiat: Pertama, hendaknya hamba menyadari betapa buruk, hina dan rendah perbuatan maksiat. Dan hendaknya dia memahami bahwa Allah mengharamkannya serta melarangnya dalam rangka menjaga hamba dari terjerumus dalam perkara-perkara yang keji dan rendah sebagaimana penjagaan seorang ayah yang sangat sayang kepada anaknya demi menjaga anaknya agar tidak terkena sesuatu yang membahayakannya. Kedua, merasa malu kepada Allah… Karena sesungguhnya apabila seorang hamba menyadari pandangan Allah yang selalu mengawasi dirinya dan menyadari betapa tinggi kedudukan Allah di matanya. Dan apabila dia menyadari bahwa perbuatannya dilihat dan didengar Allah tentu saja dia akan merasa malu apabila dia melakukan hal-hal yang dapat membuat murka Rabbnya… Rasa malu itu akan menyebabkan terbukanya mata hati yang akan membuat Anda bisa melihat seolah-olah Anda sedang berada di hadapan Allah… Ketiga, senantiasa menjaga nikmat Allah yang dilimpahkan kepadamu dan mengingat-ingat perbuatan baik-Nya kepadamu. Apabila engkau berlimpah nikmat maka jagalah, karena maksiat akan membuat nikmat hilang dan lenyap Barang siapa yang tidak mau bersyukur dengan nikmat yang diberikan Allah kepadanya maka dia akan disiksa dengan nikmat itu sendiri. Keempat, merasa takut kepada Allah dan khawatir tertimpa hukuman-Nya Kelima, mencintai Allah… karena seorang kekasih tentu akan menaati sosok yang dikasihinya… Sesungguhnya maksiat itu muncul diakibatkan oleh lemahnya rasa cinta. Keenam, menjaga kemuliaan dan kesucian diri serta memelihara kehormatan dan kebaikannya… Sebab perkara-perkara inilah yang akan bisa membuat dirinya merasa mulia dan rela meninggalkan berbagai perbuatan maksiat… Ketujuh, memiliki kekuatan ilmu tentang betapa buruknya dampak perbuatan maksiat serta jeleknya akibat yang ditimbulkannya dan juga bahaya yang timbul sesudahnya yaitu berupa muramnya wajah, kegelapan hati, sempitnya hati dan gundah gulana yang menyelimuti diri… karena dosa-dosa itu akan membuat hati menjadi mati… Kedelapan, memupus buaian angan-angan yang tidak berguna. Dan hendaknya setiap insan menyadari bahwa dia tidak akan tinggal selamanya di alam dunia. Dan mestinya dia sadar kalau dirinya hanyalah sebagaimana tamu yang singgah di sana, dia akan segera berpindah darinya. Sehingga tidak ada sesuatu pun yang akan mendorong dirinya untuk semakin menambah berat tanggungan dosanya, karena dosa-dosa itu jelas akan membahayakan dirinya dan sama sekali tidak akan memberikan manfaat apa-apa. Kesembilan, hendaknya menjauhi sikap berlebihan dalam hal makan, minum dan berpakaian. Karena sesungguhnya besarnya dorongan untuk berbuat maksiat hanyalah muncul dari akibat berlebihan dalam perkara-perkara tadi. Dan di antara sebab terbesar yang menimbulkan bahaya bagi diri seorang hamba adalah… waktu senggang dan lapang yang dia miliki… karena jiwa manusia itu tidak akan pernah mau duduk diam tanpa kegiatan… sehingga apabila dia tidak disibukkan dengan hal-hal yang bermanfaat maka tentulah dia akan disibukkan dengan hal-hal yang berbahaya baginya. Kesepuluh, sebab terakhir adalah sebab yang merangkum sebab-sebab di atas… yaitu kekokohan pohon keimanan yang tertanam kuat di dalam hati… Maka kesabaran hamba untuk menahan diri dari perbuatan maksiat itu sangat tergantung dengan kekuatan imannya. Setiap kali imannya kokoh maka kesabarannya pun akan kuat… dan apabila imannya melemah maka sabarnya pun melemah… Dan barang siapa yang menyangka bahwa dia akan sanggup meninggalkan berbagai macam penyimpangan dan perbuatan maksiat tanpa dibekali keimanan yang kokoh maka sungguh dia telah keliru. Pertanyaan: 1. Apabila seorang muslim ingin menikah, bagaimana syariat mengatur cara mengenal seorang muslimah sementara pacaran terlarang dalam Islam? 2. Bagaimana hukum berkunjung ke rumah akhwat (wanita) yang hendak dinikahi dengan tujuan untuk saling mengenal karakter dan sifat masing-masing? 3. Bagaimana hukum seorang ikhwan (lelaki) mengungkapkan perasaannya (sayang atau cinta) kepada akhwat (wanita) calon istrinya? ############ Dijawab oleh Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari: بِسْمِ اللهِ، الْحَمْدُ للهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ Benar sekali pernyataan anda bahwa pacaran adalah haram dalam Islam. Pacaran adalah budaya dan peradaban jahiliah yang dilestarikan oleh orang-orang kafir negeri Barat dan lainnya, kemudian diikuti oleh sebagian umat Islam (kecuali orang-orang yang dijaga oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala), dengan dalih mengikuti perkembangan jaman dan sebagai cara untuk mencari dan memilih pasangan hidup. Syariat Islam yang agung ini datang dari Rabb semesta alam Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, dengan tujuan untuk membimbing manusia meraih maslahat-maslahat kehidupan dan menjauhkan mereka dari mafsadah-mafsadah yang akan merusak dan menghancurkan kehidupan mereka sendiri. Ikhtilath (campur baur antara lelaki dan wanita yang bukan mahram), pergaulan bebas, dan pacaran adalah fitnah (cobaan) dan mafsadah bagi umat manusia secara umum, dan umat Islam secara khusus, maka perkara tersebut tidak bisa ditolerir. Bukankah kehancuran Bani Israil –bangsa yang terlaknat– berawal dari fitnah (godaan) wanita? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: لُعِنَ الَّذِيْنَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيْلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُدَ وَعِيْسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُوْنَ. كَانُوا لاَ يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوْهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُوْنَ “Telah terlaknat orang-orang kafir dari kalangan Bani Israil melalui lisan Nabi Dawud dan Nabi ‘Isa bin Maryam. Hal itu dikarenakan mereka bermaksiat dan melampaui batas. Adalah mereka tidak saling melarang dari kemungkaran yang mereka lakukan. Sangatlah jelek apa yang mereka lakukan.” (Al-Ma`idah: 79-78) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ، وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيْهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيْلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ “Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau (indah memesona), dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kalian sebagai khalifah (penghuni) di atasnya, kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memerhatikan amalan kalian. Maka berhati-hatilah kalian terhadap dunia dan wanita, karena sesungguhnya awal fitnah (kehancuran) Bani Israil dari kaum wanita.” (HR. Muslim, dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperingatkan umatnya untuk berhati-hati dari fitnah wanita, dengan sabda beliau: مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلىَ الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ “Tidaklah aku meninggalkan fitnah sepeninggalku yang lebih berbahaya terhadap kaum lelaki dari fitnah (godaan) wanita.” (Muttafaqun ‘alaih, dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma) Maka, pacaran berarti menjerumuskan diri dalam fitnah yang menghancurkan dan menghinakan, padahal semestinya setiap orang memelihara dan menjauhkan diri darinya. Hal itu karena dalam pacaran terdapat berbagai kemungkaran dan pelanggaran syariat sebagai berikut: 1. Ikhtilath, yaitu bercampur baur antara lelaki dan wanita yang bukan mahram. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjauhkan umatnya dari ikhtilath, sekalipun dalam pelaksanaan shalat. Kaum wanita yang hadir pada shalat berjamaah di Masjid Nabawi ditempatkan di bagian belakang masjid. Dan seusai shalat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiam sejenak, tidak bergeser dari tempatnya agar kaum lelaki tetap di tempat dan tidak beranjak meninggalkan masjid, untuk memberi kesempatan jamaah wanita meninggalkan masjid terlebih dahulu sehingga tidak berpapasan dengan jamaah lelaki. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dalam Shahih Al-Bukhari. Begitu pula pada hari Ied, kaum wanita disunnahkan untuk keluar ke mushalla (tanah lapang) menghadiri shalat Ied, namun mereka ditempatkan di mushalla bagian belakang, jauh dari shaf kaum lelaki. Sehingga ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam usai menyampaikan khutbah, beliau perlu mendatangi shaf mereka untuk memberikan khutbah khusus karena mereka tidak mendengar khutbah tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu dalam Shahih Muslim. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: خَيْرُ صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرِهَا، وَخَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا “Sebaik-baik shaf lelaki adalah shaf terdepan dan sejelek-jeleknya adalah shaf terakhir. Dan sebaik-baik shaf wanita adalah shaf terakhir, dan sejelek-jeleknya adalah shaf terdepan.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu) Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Hal itu dikarenakan dekatnya shaf terdepan wanita dari shaf terakhir lelaki sehingga merupakan shaf terjelek, dan jauhnya shaf terakhir wanita dari shaf terdepan lelaki sehingga merupakan shaf terbaik. Apabila pada ibadah shalat yang disyariatkan secara berjamaah, maka bagaimana kiranya jika di luar ibadah? Kita mengetahui bersama, dalam keadaan dan suasana ibadah tentunya seseorang lebih jauh dari perkara-perkara yang berhubungan dengan syahwat. Maka bagaimana sekiranya ikhtilath itu terjadi di luar ibadah? Sedangkan setan bergerak dalam tubuh Bani Adam begitu cepatnya mengikuti peredaran darah . Bukankah sangat ditakutkan terjadinya fitnah dan kerusakan besar karenanya?” (Lihat Fatawa An-Nazhar wal Khalwah wal Ikhtilath, hal. 45) Subhanallah. Padahal wanita para shahabat keluar menghadiri shalat dalam keadaan berhijab syar’i dengan menutup seluruh tubuhnya –karena seluruh tubuh wanita adalah aurat– sesuai perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Al-Ahzab ayat 59 dan An-Nur ayat 31, tanpa melakukan tabarruj karena Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang mereka melakukan hal itu dalam surat Al-Ahzab ayat 33, juga tanpa memakai wewangian berdasarkan larangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Ahmad, Abu Dawud, dan yang lainnya : وَلْيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلاَتٌ “Hendaklah mereka keluar tanpa memakai wewangian.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang siapa saja dari mereka yang berbau harum karena terkena bakhur untuk untuk hadir shalat berjamaah sebagaimana dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 53: وَإِذَا سَأَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوْهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّ “Dan jika kalian (para shahabat) meminta suatu hajat (kebutuhan) kepada mereka (istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) maka mintalah dari balik hijab. Hal itu lebih bersih (suci) bagi kalbu kalian dan kalbu mereka.” Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan mereka berinteraksi sesuai tuntutan hajat dari balik hijab dan tidak boleh masuk menemui mereka secara langsung. Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata: “Maka tidak dibenarkan seseorang mengatakan bahwa lebih bersih dan lebih suci bagi para shahabat dan istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan bagi generasi-generasi setelahnya tidaklah demikian. Tidak diragukan lagi bahwa generasi-generasi setelah shahabat justru lebih butuh terhadap hijab dibandingkan para shahabat, karena perbedaan yang sangat jauh antara mereka dalam hal kekuatan iman dan ilmu. Juga karena persaksian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap para shahabat, baik lelaki maupun wanita, termasuk istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bahwa mereka adalah generasi terbaik setelah para nabi dan rasul, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Demikian pula, dalil-dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah menunjukkan berlakunya suatu hukum secara umum meliputi seluruh umat dan tidak boleh mengkhususkannya untuk pihak tertentu saja tanpa dalil.” (Lihat Fatawa An-Nazhar, hal. 11-10) Pada saat yang sama, ikhtilath itu sendiri menjadi sebab yang menjerumuskan mereka untuk berpacaran, sebagaimana fakta yang kita saksikan berupa akibat ikhtilath yang terjadi di sekolah, instansi-instansi pemerintah dan swasta, atau tempat-tempat yang lainnya. Wa ilallahil musytaka (Dan hanya kepada Allah kita mengadu) 2. Khalwat, yaitu berduaannya lelaki dan wanita tanpa mahram. Padahal Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلىَ النِّسَاءِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ: أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ “Hati-hatilah kalian dari masuk menemui wanita.” Seorang lelaki dari kalangan Anshar berkata: “Bagaimana pendapatmu dengan kerabat suami? ” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mereka adalah kebinasaan.” (Muttafaq ‘alaih, dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: لاَ يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ “Jangan sekali-kali salah seorang kalian berkhalwat dengan wanita, kecuali bersama mahram.” (Muttafaq ‘alaih, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma) Hal itu karena tidaklah terjadi khalwat kecuali setan bersama keduanya sebagai pihak ketiga, sebagaimana dalam hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يَخْلُوَنَّ بِامْرَأَةٍ لَيْسَ مَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ مِنْهَا فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka jangan sekali-kali dia berkhalwat dengan seorang wanita tanpa disertai mahramnya, karena setan akan menyertai keduanya.” (HR. Ahmad) 3. Berbagai bentuk perzinaan anggota tubuh yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu: كُتِبَ عَلىَ ابْنِ آدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَا مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ: الْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَاْلأُذُنَانِ زِنَاهُمَا اْلاِسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ، وَالْيَدُ زِنَاهُ الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهُ الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ أَوْ يُكَذِّبُهُ “Telah ditulis bagi setiap Bani Adam bagiannya dari zina, pasti dia akan melakukannya, kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lidah(lisan) zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang, kaki zinanya adalah melangkah, sementara kalbu berkeinginan dan berangan-angan, maka kemaluan lah yang membenarkan atau mendustakan.” Hadits ini menunjukkan bahwa memandang wanita yang tidak halal untuk dipandang meskipun tanpa syahwat adalah zina mata . Mendengar ucapan wanita (selain istri) dalam bentuk menikmati adalah zina telinga. Berbicara dengan wanita (selain istrinya) dalam bentuk menikmati atau menggoda dan merayunya adalah zina lisan. Menyentuh wanita yang tidak dihalalkan untuk disentuh baik dengan memegang atau yang lainnya adalah zina tangan. Mengayunkan langkah menuju wanita yang menarik hatinya atau menuju tempat perzinaan adalah zina kaki. Sementara kalbu berkeinginan dan mengangan-angankan wanita yang memikatnya, maka itulah zina kalbu. Kemudian boleh jadi kemaluannya mengikuti dengan melakukan perzinaan yang berarti kemaluannya telah membenarkan; atau dia selamat dari zina kemaluan yang berarti kemaluannya telah mendustakan. (Lihat Syarh Riyadhis Shalihin karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, pada syarah hadits no. 16 22) Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيْلاً “Dan janganlah kalian mendekati perbuatan zina, sesungguhnya itu adalah perbuatan nista dan sejelek-jelek jalan.” (Al-Isra`: 32) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حِدِيْدٍ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ “Demi Allah, sungguh jika kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum dari besi, maka itu lebih baik dari menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Ath-Thabarani dan Al-Baihaqi dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 226) Meskipun sentuhan itu hanya sebatas berjabat tangan maka tetap tidak boleh. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: وَلاَ وَاللهِ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُوْلِ اللهِ يَدَ امْرَأَةٍ قَطُّ غَيْرَ أَنَّهُ يُبَايِعُهُنَّ بِالْكَلاَمِ “Tidak. Demi Allah, tidak pernah sama sekali tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyentuh tangan wanita (selain mahramnya), melainkan beliau membai’at mereka dengan ucapan (tanpa jabat tangan).” (HR. Muslim) Demikian pula dengan pandangan, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman dalam surat An-Nur ayat 31-30: قُلْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوْجَهُمْ – إِلَى قَوْلِهِ تَعَلَى – وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ … “Katakan (wahai Nabi) kepada kaum mukminin, hendaklah mereka menjaga pandangan serta kemaluan mereka (dari halhal yang diharamkan) –hingga firman-Nya- Dan katakan pula kepada kaum mukminat, hendaklah mereka menjaga pandangan serta kemaluan mereka (dari hal-hal yang diharamkan)….” Dalam Shahih Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظْرِ الْفَجْأَةِ؟ فَقَالَ: اصْرِفْ بَصَرَكَ “Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang tiba-tiba (tanpa sengaja)? Maka beliau bersabda: ‘Palingkan pandanganmu’.” Adapun suara dan ucapan wanita, pada asalnya bukanlah aurat yang terlarang. Namun tidak boleh bagi seorang wanita bersuara dan berbicara lebih dari tuntutan hajat (kebutuhan), dan tidak boleh melembutkan suara. Demikian juga dengan isi pembicaraan, tidak boleh berupa perkara-perkara yang membangkitkan syahwat dan mengundang fitnah. Karena bila demikian maka suara dan ucapannya menjadi aurat dan fitnah yang terlarang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوْفًا “Maka janganlah kalian (para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) berbicara dengan suara yang lembut, sehingga lelaki yang memiliki penyakit dalam kalbunya menjadi tergoda dan ucapkanlah perkataan yang ma’ruf (baik).” (Al-Ahzab: 32) Adalah para wanita datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan di sekitar beliau hadir para shahabatnya, lalu wanita itu berbicara kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan kepentingannya dan para shahabat ikut mendengarkan. Tapi mereka tidak berbicara lebih dari tuntutan hajat dan tanpa melembutkan suara. Dengan demikian jelaslah bahwa pacaran bukanlah alternatif yang ditolerir dalam Islam untuk mencari dan memilih pasangan hidup. Menjadi jelas pula bahwa tidak boleh mengungkapkan perasaan sayang atau cinta kepada calon istri selama belum resmi menjadi istri. Baik ungkapan itu secara langsung atau lewat telepon, ataupun melalui surat. Karena saling mengungkapkan perasaan cinta dan sayang adalah hubungan asmara yang mengandung makna pacaran yang akan menyeret ke dalam fitnah. Demikian pula halnya berkunjung ke rumah calon istri atau wanita yang ingin dilamar dan bergaul dengannya dalam rangka saling mengenal karakter dan sifat masing-masing, karena perbuatan seperti ini juga mengandung makna pacaran yang akan menyeret ke dalam fitnah. Wallahul musta’an (Allah-lah tempat meminta pertolongan). Adapun cara yang ditunjukkan oleh syariat untuk mengenal wanita yang hendak dilamar adalah dengan mencari keterangan tentang yang bersangkutan melalui seseorang yang mengenalnya, baik tentang biografi (riwayat hidup), karakter, sifat, atau hal lainnya yang dibutuhkan untuk diketahui demi maslahat pernikahan. Bisa pula dengan cara meminta keterangan kepada wanita itu sendiri melalui perantaraan seseorang seperti istri teman atau yang lainnya. Dan pihak yang dimintai keterangan berkewajiban untuk menjawab seobyektif mungkin, meskipun harus membuka aib wanita tersebut karena ini bukan termasuk dalam kategori ghibah yang tercela. Hal ini termasuk dari enam perkara yang dikecualikan dari ghibah, meskipun menyebutkan aib seseorang. Demikian pula sebaliknya dengan pihak wanita yang berkepentingan untuk mengenal lelaki yang berhasrat untuk meminangnya, dapat menempuh cara yang sama. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits Fathimah bintu Qais ketika dilamar oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm, lalu dia minta nasehat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau bersabda: أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلاَ يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ، وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوْكٌ لاَ مَالَ لَهُ، انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ “Adapun Abu Jahm, maka dia adalah lelaki yang tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya . Adapun Mu’awiyah, dia adalah lelaki miskin yang tidak memiliki harta. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid.” (HR. Muslim) Para ulama juga menyatakan bolehnya berbicara secara langsung dengan calon istri yang dilamar sesuai dengan tuntunan hajat dan maslahat. Akan tetapi tentunya tanpa khalwat dan dari balik hijab. Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (130-129/5 cetakan Darul Atsar) berkata: “Bolehnya berbicara dengan calon istri yang dilamar wajib dibatasi dengan syarat tidak membangkitkan syahwat atau tanpa disertai dengan menikmati percakapan tersebut. Jika hal itu terjadi maka hukumnya haram, karena setiap orang wajib menghindar dan menjauh dari fitnah.” Perkara ini diistilahkan dengan ta’aruf. Adapun terkait dengan hal-hal yang lebih spesifik yaitu organ tubuh, maka cara yang diajarkan adalah dengan melakukan nazhor, yaitu melihat wanita yang hendak dilamar. Nazhor memiliki aturan-aturan dan persyaratan-persyaratan yang membutuhkan pembahasan khusus . Wallahu a’lam. INTA ITU INDAH. Tak ada yang bisa memungkirinya. Karena indahnya, banyak anak manusia yang terjebak ke dalam kubangan lumpur cinta. Banyak kata-kata palsu diobral atas nama cinta. Bila sudah begini, banyak gadis terluka pula karena cinta. Duh…ternyata cinta bisa juga membawa petaka. Jebakan cinta banyak macamnya. Mulai dari wajah manis menawan hingga rayuan maut dari mulut berbisa. Jebakan cinta bisa juga dalam bentuk materi, kasih sayang semu berbungkus nafsu, bahkan sampai tataran perayaan sesuatu. Salah satunya adalah hadirnya momen Valentine yang seringkali digunakan sebagai perayaan cinta, itu katanya. Padahal ujung-ujungnya adalah perayaan gaul bebas ala kaum kafir yang jelas-jelas tak ada tuntunannya dalam Islam. “Will you be my Valentine?” adalah kata-kata mujarab cowok kacangan untuk memperdaya cewek bodoh. Gimana enggak bodoh kalo cuma dengan ajakan kalimat seperti itu, si cewek langsung ‘kelepek-kelepek’ mengiyakan saja. Padahal kalo ia mau sedikit saja jeli dan cerdas, nama Valentine itu kan diambil dari nama Pendeta Kristen yang mati di tiang gantungan karena membela sepasang muda-mudi yang berzina atas nama cinta. Trus, gimana bisa ia langsung meleleh hanya dengan rayuan palsu ‘will you be my Valentine”? Jangan mau deh jadi cewek bodoh tipe ini. Memalukan sekali bagi jenis kaum cewek kalo kamu sampai terpedaya gombalan tak bermutu ini. Jangan mau terjebak oleh rayuan nafsu yang mengatasnamakan cinta. Sehaus-hausnya kamu akan cinta, gak begitu banget-lah kalo sampai desperate obral harga. Ih….enggak banget! …Waspadai jebakan atas nama cinta. Gak perlu ngiri ketika teman-teman cewek yang lain sudah punya gandengan. Malah, seharusnya kamu bangga karena ternyata kesendirianmu saat ini menjadi poin plus dari jebakan maksiat bernama pacaran… Waspadai jebakan atas nama cinta. Gak perlu ngiri ketika teman-teman cewek yang lain sudah punya gandengan (truk kali pake gandengan:P) Malah, seharusnya kamu bangga karena ternyata kesendirianmu saat ini menjadi poin plus dari jebakan maksiat bernama pacaran. Jebakan ini makin menggila di detik-detik menjelang Valentine day ketika banyak remaja yang merasa berdosa apabila tidak mendapat pasangan kencan. Padahal yang terjadi adalah sebaliknya, tumpukan dosa makin menggunung ketika aktivitas pacaran dilakoni serta tasyabbuh alias meniru-niru kebiasaan kaum kafir. Kebiasaan ini berupa perayaan Valentine yang sengaja diimpor masuk ke negeri-negeri muslim untuk meracuni pemudanya. Jadi bagi kamu para cewek yang mengaku cerdas, pikir-pikir lagi deh untuk ikutan merayakan Valentine ini. Kecuali kalo kamu memang terkategori masuk ke dalam kelompok bodoh yang mau saja dibodohi sehingga gampang ikut-ikutan dalam perayaan Valentine day. Jebakan bernama Valentine ini memang menggiurkan dan sering melenakan banyak orang. Atas nama cinta, perayaan Valentine bersembunyi di baliknya. Tapi seiring dengan makin tingginya kesadaran di kalangan pemuda, mudah sekali melihat borok dan bopengnya perayaan Valentine yang mendompleng nama cinta. Bila sudah begini, tak ada alasan bagi kamu untuk masih saja ikut ambil bagian di dalamnya. Sekarang saatnya bergerak untuk penyadaran kolektif ke teman-temanmu lainnya yang masih belum sadar. Kasihan kan mereka bila sampai terjebak cinta palsu bertajuk Valentine? So, ayo kita mulai gerakan penyadaran ini mulai sekarang. Tolak Valentine dengan tegas dan say NO to kemaksiatan.